Klinik Hukum Makhluk Apa Omnibus Law itu?

Makhluk Apa Omnibus Law itu?

573

Kata Omnibus Law akhir-akhir ini banyak disebut-sebut oleh pejabat pemerintah, mulai dari Menteri Keuangan Ibu Sri Muliani, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, sampai Presiden Jokowi memunculkan istilah ini pada saat memberikan usulan untuk memangkas regulasi agar membangkitkan gairah investasi di Indonesia, yang hingga saat ini investasi tidak kunjung menunjukkan angka yang optimis untuk mencapai target yang diharapkan.

Omnibus Law berasal dari kata omnibus dan law. Kata omnibus berasal dari bahasa Latin, omnis, yang berarti “untuk semuanya” atau “banyak”. Bila digandeng dengan kata law, yang berarti hukum, maka Omnibus Law dapat didefinisikan sebagai hukum untuk semua. Di dalam Black Law Dictionary Ninth Edition karya Bryan A Garner disebutkan: “omnibus: relating to or dealing with numerous object or item at once; inculding many thing or having varius purposes”, yang diartikan berkaitan dengan atau berurusan dengan berbagai objek atau item sekaligus; termasuk banyak hal atau memiliki berbagai tujuan. Jadi, konsep Omnibus Law merupakan aturan yang bersifat menyeluruh dan komprehensif, tidak terikat pada satu rezim pengaturan saja. Menyesuaikan dengan definisi tersebut jika dikontekskan dengan UU maka dapat dimaknai sebagai penyelesaian berbagai pengaturan sebuah kebijakan tertentu, tercantum dalam dalam berbagai UU ke dalam satu UU payung.

Dalam hukum, kata omnibus lazimnya disandingkan dengan kata law atau bill yang berarti suatu peraturan yang dibuat berdasarkan hasil kompilasi beberapa aturan dengan substansi dan tingkatannya berbeda. Menurut Audrey O” Brien, omnibus law adalah suatu rancangan undang-undang (bill) yang mencakup lebih dari satu aspek yang digabung menjadi satu undang-undang. Sementara bagi Barbara Sinclair, omnibus bill merupakan proses pembuatan peraturan yang bersifat kompleks dan penyelesaiannya memakan waktu lama karena mengandung banyak materi meskipun subjek, isu, dan programnya tidak selalu terkait.

Jadi, Omnibus Law merupakan metode atau konsep pembuatan peraturan yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda, menjadi suatu peraturan besar yang berfungsi sebagai semacam “undang-undang payung hukum” (umbrella act). Dan ketika peraturan semacam payung hukum itu diundangkan maka konsekuensinya bakalan mencabut beberapa aturan tertentu di mana norma atau substansinya juga bukan tidak mungkin bakalan dinyatakan tidak berlaku, baik sebagian maupun secara keseluruhan.

Ada beberapa kelebihan penerapan konsep Omnibus Law dalam menyelesaikan disharmoni regulasi, antara lain ialah:

  1. Mengatasi konflik peraturan perundang-undangan baik vertical maupun horizontal secara cepat, efektif dan efisien.
  2. Menyeragamkan kebijakan pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah untuk menunjang iklim investasi;
  3. Memangkas pengurusan perizinan lebih terpadu, efisien dan efektif;
  4. Mampu memutus rantai birokrasi yang berbelit-belit;
  5. Meningkatnya hubungan koordinasi antar instansi terkait karena telah diatur dalam kebijakan omnibus regulation yang terpadu;
  6. Adanya jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi para pengambil kebijakan.

Omnibus law dapat dianggap sebagai UU ‘sapu jagat’ yang dapat digunakan untuk mengganti beberapa norma hukum dalam beberapa UU. Mekanisme ini dianggap lebih efektif dan efisien dalam proses pembuatan dan revisi UU. Praktik omnibus law pernah dilakukan Irlandia untuk melakukan perampingan peraturan perundangan yang dilakukan hanya lewat satu UU omnibus menghapus sekitar 3.225 UU yang dianggap sebagai rekor dunia praktik omnibus law.

Sejatinya penyederhanaan regulasi terkait investasi tercermin dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik, yang lebih dikenal dengan Online Single Submission (OSS). OSS menjadi salah satu luaran (output) dari kebijakan percepatan perizinan berusaha yang bisa bermuara kepada terciptanya omnibus law. Sebelum OSS diluncurkan, pemerintah terlebih dahulu melakukan proses deregulasi, debirokratisasi dan simplifikasi aturan yang menghambat perizinan berusaha. OSS menjadi satu terobosan yang patut diapresiasi, meski tidak luput dari segala kekurangan, karena kita sedang menuju pada era digital ecosystem.

Perampingan peraturan terus digaungkan Kemenkum HAM sejak 2015. Selain itu, para akademisi menyatakan sikap serupa. Dalam Konferensi Nasional Hukum Tata Negara (KNHTN) ke-4 di Jember pada 10-13 November 2017, para pendekar hukum menghasilkan Rekomendasi Jember, yang meminta segera dirampingkan regulasi di Indonesia karena sudah sangat banyak. Gagasan ini kemudian dikonkretkan oleh Jokowi. Pemerintah akan mengajak DPR menerbitkan dua undang-undang besar. Pertama, UU Cipta Lapangan Kerja. Kedua, UU Pemberdayaan UMKM.

Regulasi dalam konsep ini adalah membuat satu UU baru untuk mengamandemen beberapa UU sekaligus. Secara proses pembuatan, pakar hukum menyebut bahwa tidak ada perbedaan dengan proses pembuatan UU pada umumnya. Hanya saja, isinya tegas mencabut atau mengubah beberapa UU yang terkait, yang saat ini setidaknya sejumlah 74 undang-undang yang bakal terkena dampak omnibus law. Tanpa mekanisme omnibus law, artinya bila menyisir satu per satu UU untuk kemudian diajukan revisi ke DPR, maka proses dapat memakan waktu hingga lebih dari 50 tahun.

Meski Indonesia menganut sistem hukum civil law, sementara omnibus law lahir dari tradisi sistem hukum common law, namun dalam dunia digital ecosystem dan global governance, tidak ada salahnya Indonesia menerobos ruang batas ini. Filipina telah mulai mereformasi hukum dalam konteks investasi dengan menerbitkan The Omnibus Investment Code. Selanjutnya, Vietnam mempelajari teknik pembuatan omnibus law, sebagai bagian dari reformasi regulasi yang dilakukannya.

Indonesia juga sudah mulai mendesign pembuatan omnibus law, namun masih ada kekhawatiran hal ini akan bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Kondisi ini tentunya akan menjadi kajian menarik para ahli Hukum tentang bagaimana membuat omnibus law yang jelas, taat hierarki, dan menjamin kepastian hukum. Tetapi walaupun UU Nomor 12 Tahun 2011 tidak mengakomodasi pembentukan omnibus law, mestinya tetap dapat dilakukan dengan menciptakan konsep omnibus-hybrid atau quasi omnibus law atau penggabungan common dan civil law system.

Terkait rencana pemerintah untuk membentuk undang-undang melalui pendekatan omnibus law tersebut, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mendorong para pembuat undang-undang, baik pemerintah maupun DPR agar:

  1. Menaati asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, termasuk ketentuan tentang materi muatan, serta prosedur formal lainnya dalam pembentukan undang-undang sesuai UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019.
  2. Membuka peluang partisipasi masyarakat seluas-luasnya dengan melibatkan para pemangku kepentingan serta kelompok-kelompok terdampak dalam setiap tahap pembentukan undang-undang dan tidak melakukan pembahasan secara tertutup dengan hanya melibatkan elite-elite politik dan pemerintahan.
  3. Melakukan pembahasan secara transparan dan akuntabel melalui penyediaan data dan informasi yang mudah diakses pada setiap tahap pembentukan undang-undang.
  4. Mengedepankan prinsip-prinsip yang menopang demokrasi, seperti perlindungan hak asasi manusia, antikorupsi, keberpihakan terhadap kelompok rentan, dan pelestarian lingkungan hidup dalam setiap tahap pembentukan undang-undang.
  5. Menempatkan pendekatan omnibus law sebagai salah satu cara pembenahan regulasi secara menyeluruh dan tidak semata-mata bertujuan tunggal dalam rangka mempermudah investasi yang justru berpotensi mengabaikan kepentingan masyarakat lebih luas.

(Bernard Simamora, SH, S.IP, S.Si, MM)