Klinik Hukum Langkah Hukum Jika Suami Tidak Menafkahi Isteri dan/atau Anak

Langkah Hukum Jika Suami Tidak Menafkahi Isteri dan/atau Anak

Jika saudara memerlukan Bantuan Advokat untuk menghadapi persoalan penelantaran anak dan atau isteri, hubungi kami, BSDR Law Firm via WA/SMS : 0811246803 e-mail: bsdrlawfirm@gmail.com, atau kalau saudara berdomisili di area Bandung dan Jawa Barat, dapat datang langsung ke kantor BSDR Law Firm, JL. Kali Cipamokolan No. 2 Soekarno-Hatta Bandung. (*)

551

Kasus

Suami saya sudah 12 tahun ini tidak pernah lagi menafkahi saya dan anak-anak, padahal dia tidak sedang dalam kekurangan. Dia juga jarang pulang, alasannya harus mengurus usahanya yang ada di Kalimantan. Saya tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi dengan dia. Pertanyaannya, saya ingin dia menafkahi saya dan anak-anak saya. Langkah hukum apa yang bisa saya tempuh agar suami saya bertangggungjawab ?

 Penjelasan

Menurut UU Perkawinan, suami adalah seorang kepala rumah tangga yang memiliki kewajiban melindungi istri dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai kemampuannya termasuk memberikan tempat tinggal dan segala biaya terkait menafkahi istri. Dalam Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan dikatakan bahwa suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

Selain itu, menurut PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan, suami selaku orang tua juga memiliki kewajiban terhadap anak yaitu memelihara dan mendidik anak sebaik-baiknya termasuk memberikan biaya pendidikan dan perawatan bagi anak yang berlaku terus sampai dengan si anak menikah atau mandiri, bahkan jika keadaan perkawinan suami dan istri putus sekalipun.

Perbuatan suami yang meninggalkan istri dan anak tanpa kabar berita dan nafkah lahir batin merupakan suatu pelanggaran atas kewajiban suami terhadap istri dan melanggar kewajiban suami sebagai orang tua terhadap anak berdasarkan UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (apabila suami beragama Islam). Perbuatan suami tersebut juga tergolong tindakan menelantarkan istri dan anak berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU Penghapusan KDRT):

  • Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
  • Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Oleh karena itu, secara hukum ada dua hal yang bisa dilakukan. Pertama, secara perdata yaitu mengajukan gugatan nafkah maupun gugatan cerai terhadap suami Anda. Kedua, melaporkan suami ke kantor polisi karena telah melakukan penelantaran terhadap keluargsecara.

Gugatan Perdata

Isteri dapat mengajukan gugatan nafkah ke Pengadilan dengan dasar hukum Pasal 34 UUPerkawinan yang berbunyi :“Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugutan kepada Pengadilan”. Gugatan ini dapat berupa gugatan nafkah yang terlepas dari gugatan cerai. Artinya, gugatan nafkah bisa diajukan isteri terhadap suami tanpa harus bercerai/mengajukan gugatan cerai.

Pelaporan Pidana

Tindakan suami yang menelantarkan istri dan anak yang diperkuat dengan bukti-bukti yang cukup seperti saksi-saksi, maka istri dapat melaporkan sang suami kepada kepolisian setempat atas dugaan tindak pidana penelantaran. Berdasarkan Pasal 49 UU Penghapusan KDRT, apabila suami dinyatakan bersalah dengan suatu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka suami dapat dipidana dengan penjara paling lama tiga(3)  tahun atau denda paling banyak Rp. 15 juta. Begitu juga dengan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bisa digunakan untuk menjerat suami yang tidak bertanggungjawab tersebut.

Apabila diinginkan sang isteri, penelantaran tersebut juga dapat menjadi alasan perceraian apabila telah berlangsung setidaknya 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin dan tanpa alasan yang sah. Dengan demikian, istri dapat mengajukan suatu gugatan perceraian terhadap suami apabila diinginkan, dengan mempertimbangkan kepentingan anak dan/atau kepastian status hukum istri.

Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat .

Dasar Hukum:

  1. Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
  2. Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
  3. Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Jika saudara memerlukan Bantuan Advokat untuk menghadapi persoalan seperti di atas, hubungi kami, BSDR Law Firm via WA/SMS : 0811246803 e-mail: bsdrlawfirm@gmail.com, atau kalau saudara berdomisili di area Bandung dan Jawa Barat, dapat datang langsung ke kantor BSDR Law Firm, JL. Kali Cipamokolan No. 2 Soekarno-Hatta Bandung. (*)