Istilah kata korupsi yang kita kenal saat ini berasal dari bahasa Latin Corruptio atau corruptus, yang diambil dari suatu bahasa Latin yang lebih tua yaitu corrumpere. Dari bahasa Latin tersebut kemudian dikenal istilah corruption atau corrupt bahasa Inggris, istilah bahasa Perancisnya corruption, menurut bahasa Belandanya corruptie/korruptie yang kemudian diadaptasi dalam bahasa Indonesia dengan kata korupsi.
Menurut Sudarto, istilah corruptio mempunyai arti kerusakan, dalam bahasa Sansekerta di dalam Naskah Kuno Negara Kertagama istilah corrupt arti harfiahnya adalah rusak. Perkataan korupsi juga digunakan untuk menunjukkan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejat, tidak jujur yang disangkutpautkan dengan ketidakjujuran seseorang berkaitan dengan keuangan. Secara harafiah arti kata korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian.
Korupsi merupakan musuh bersama, bukan hanya persoalan nasional akan tetapi merupakan persoalan internasional, bersifat universal dan lintas negara (national border). Secara internasional korupsi diakui sebagai fenomena global yang bersifat extra ordinary crime. Sifatnya sebagai kejahatan yang luar biasa tersebut tentunya diperlukan pendekatan-pendekatan lain yang bersifat luar biasa pula (extra ordinary measure).
Persoalan korupsi adalah persoalan yang kompleks, bukan semata-mata sebagai persoalan hukum (yuridis), korupsi bersumber dan dapat didekati dari berbagai segi atau sudut pandang. .Korupsi bisa dilihat dari sudut filsafat, budaya, moral, ekonomi, politik, kriminologi bahkan dari sudut pertahanan.
Dari sudut hukum (normatif), korupsi mewujud dalam seperangkat aturan normatif yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan apa saja yang dipandang sebagai tindak pidana korupsi, persoalan pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi dan masalah pidana dan pemidanaan.
Tindak pidana korupsi di Indonesia diatur melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Secara substansial UU Tipikor mengatur 2 kelompok tindak pidana. Pertama kelompok tindak pidana korupsi dan Kedua kelompok tindak pidana yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi.
Kelompok Pertama (Tindak Pidana Korupsi) diatur dalam Bab ke-2 tentang Tindak Pidana Korupsi berjumlah 13 pasal yang terjabarkan dalam 30 bentuk tindak pidana korupsi, terdapat diantara Pasal 2 sampai dengan Pasal 20 UU Tipikor. Ketiga puluh bentuk tindak pidana korupsi tersebut terbagi atas 7 kelompok tindak pidana yaitu:
- Kelompok delik yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara (Pasal 2 dan 3),
- Kelompok delik penyuapan, baik aktif (yang menyuap) maupun pasif (yang disuap) (Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b, ayat (2). Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b, ayat (2). Pasal 11, Pasal 12 huruf a, b, c dan d. Pasal 13) ,
- Kelompok delik penggelapan dalam jabatan (Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10 huruf a, b dan c),
- Kelompok delik pemerasan dalam jabatan (knevelarij, extortion) (Pasal 12 huruf e, f dan g),
- Kelompok delik yang berkaitan dengan perbuatan curang (Pasal 7 ayat (1) huruf a,b,c dan d, ayat (2). Pasal 12 huruf h),
- Delik berkaitan benturan kepentingan dalam pengadaan (Pasal 12 huruf i), dan
- Delik terkait Gratifikasi (Pasal 12b Jo Pasal 12c).
Berbeda dengan KUHP, UU Tipikor tidak hanya menjadikan manusia sebagai subjek hukum, tetapi juga korporasi. Ketentuan tersebut secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) UU Tipikor yang memaknai “setiap orang” adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.
Perihal penuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya. Apabila tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.
Alatas dalam buku karya Chaerudin, Syaiful Ahmad Dinar, dan Syarif Fadillah yang berjudul “Strategi Pencegahan & Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi” mengembangkan korupsi menjadi 7 tipologi, yaitu:
- Korupsi transaktif, yaitu korupsi yang terjadi atas kesepakatan diantara seorang donor dengan resipien untuk keuntungan kedua belah pihak;
- Korupsi ekstortif, yaitu korupsi yang melibatkan penekanan dan pemaksaan untuk menghindari bahaya bagi mereka yang terlibat atau orang-orang yang dekat dengan pelaku korupsi;
- Korupsi investif, yaitu korupsi yang berawal dari tawaran yang merupakan investasi untuk mengantisipasi adanya keuntungan di masa datang;
- Korupsi nepotisik, yaitu korupsi yang terjadi karena perlakuan khusus baik dalam pengangkatan kantor publik maupun pemberian proyek-proyek bagi keluarga dekat;
- Korupsi otogenik, yaitu korupsi yang terjadi ketika seorang pejabat mendapat keuntungan karena memiliki pengetahuan sebagai orang dalam (insiders information) tentang berbagai kebijakan publik yang seharusnya dirahasiakan;
- Korupsi supportif, yaitu perlindungan atau penguatan korupsi yang menjadi intrik kekuasaan dan bahkan kekerasan; dan
- Korupsi defensif, yaitu korupsi yang dilakukan dalam rangka mempertahankan diri dari pemerasan.
Demikianlah uraian singkat Istilah, Pengertian dan Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi. Uraian lebih lengkap lihat di https://youtu.be/abiG9Paex1E pada chanel “Global Tutorial” youtube.
(Naskah disajikan oleh : Bernard Simamora, S.Si, S.IP., SH, MH, MM, Kantor Hukum BSDR.)