Klinik Hukum Akibat Hukum Jika Merekayasa Alat Bukti di Persidangan

Akibat Hukum Jika Merekayasa Alat Bukti di Persidangan

308

Apa yang terjadi jika mengajukan alat bukti palsu/merekayasa alat bukti untuk kelengkapan tuntutan di pengadilan? Misalnya salah satu alat bukti yang sah dalam pengadilan pidana adalah keterangan saksi. Jika dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan ataupun tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Jika keterangan saksi yang tidak benar itu sedemikian rupa direkayasa dan tidak ada alat bukti lain yang membuktikan kesalahan terdakwa, akibat hukumnya adalah Terdakwa  harus dibebaskan. Hal ini karena hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Apa saja yang menjadi alat bukti menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”). Alat bukti yang sah dalam pengadilan pidana terbagi menjadi:[1]

  1. Keterangan saksi
  2. Keterangan ahli
  3. Surat
  4. Petunjuk
  5. Keterangan terdakwa

Dari alat bukti yang sah tersebut, guna menyederhanakan jawaban, kami ambil salah satu contoh saja, yaitu keterangan saksi. Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan dia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu[2], termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri” (setiap orang yang punya pengetahuan yang terkait langsung terjadinya tindak pidana).[3]

Merekayasa/Memalsukan Keterangan Saksi

Menyorot soal keterangan saksi yang direkayasa atau palsu, berdasarkan yurisprudensi, sebagian saja dari keterangan saksi dinyatakan palsu, cukup alasan menjeratnya dengan Pasal 242 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Kuncinya, keyakinan dan ketegasan hakim. Demikian yang dijelaskan dalam artikel Menjerat Saksi Berbohong di Persidangan.

Pasal 242 ayat (1) dan (2) KUHP berbunyi:

  • Barangsiapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan ataupun tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
  • Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Dari sisi hukum positif Indonesia, berbohong pada umumnya belum dapat dikualifisir sebagai tindak pidana. Begitulah pendapat akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia Gandjar Laksmana. Menurut Gandjar, berbohong di pengadilan adalah tindak pidana.

Misalnya dalam perkara pencurian. Sebenarnya saksi tidak mendengar adanya suara, derap langkah, atau suara-suara lain yang membuat dia bisa mengenal terdakwa. Akan tetapi, dalam persidangan, saksi mengatakan hal yang sebaliknya.

Jika saksi memberikan keterangan tidak benar/palsu sedemikian rupa direkayasa dan tidak ada alat bukti lain yang membuktikan kesalahan terdakwa, akibat hukumnya adalah Terdakwa harus dibebaskan. Dengan catatan, jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.[4]

Hal ini karena yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana bagi terdakwa adalah seperti yang tercantum dalam Pasal 183 KUHAP: “ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Dasar hukum:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

(Kantor Hukum Bernard Simamora & Rekan)

[1] Pasal 184 ayat (1) KUHAP

[2] Pasal 1 angka 27 KUHAP

[3] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010

[4] Pasal 191 ayat (1) KUHAP